Bau-Bau, SultraNET. | Upacara peringatan Hari Jadi ke-482 Kota Bau-Bau dan ulang tahun ke-22 sebagai daerah otonom dihadiri oleh Bupati Konawe Utara, Dr. Ir. H. Ruksamin, S.T., M.Si., IPU., ASEAN. Eng.
Setelah meriahnya peringatan tersebut, Bupati Ruksamin melanjutkan partisipasinya dalam tradisi Kande-Kandea yang diadakan sebagai bagian dari rangkaian penganugerahan gelar adat dan syukuran untuk memperingati Hari Jadi Bau-Bau dan HUT Kota Bau-Bau, bertempat di pelataran Kantor Walikota Bau-Bau. Selasa (17/10/2023),
Bupati Konawe Utara, Dr. Ruksamin, saat ikut serta dalam merayakan tradisi ini dengan penuh makna, mengakui adanya nilai-nilai sosial, politik, dan mistis yang terkandung dalam Kande-Kandea sebagai simbol kesatuan masyarakat Buton.
“Tradisi ini terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi,” ujar Ruksamin
Ia menyebut dengan pelaksanaan tradisi Kande-Kandea menjadikan peringatan Hari Jadi Bau-Bau ke-482 dan HUT Kota Bau-Bau ke-22 sebagai momen yang tidak hanya membanggakan sejarah, tetapi juga sebagai wujud kesatuan sosial dan budaya yang mendalam.
“Saya merasa bangga dapat bersama masyarakat Kota Bau-Bau merayakan momen ini,” ungkap Bupati Konut dua periode itu.
Pemilik jargon Sultra Pusat Energi Dunia itu menjelaskan sejarah Kande-Kandea memiliki akar yang dalam, menjadi cara tradisional untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang.
Tradisi Kande-Kandea, yang merupakan warisan budaya dari masyarakat Buton, melibatkan tiga etnis utama: Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio.
“Acara ini menjadi momen bersejarah untuk memperkuat hubungan sosial, politik, dan budaya di antara masyarakat setempat,” bebernya.
Tradisi ini melibatkan persiapan gadis-gadis setempat yang menyajikan makanan sebagai tanda penghargaan kepada para laskar yang kembali, menciptakan momen penuh kehangatan dan solidaritas.
Selain itu, Kande-Kandea juga menjadi panggung untuk pertemuan muda-mudi, memfasilitasi interaksi antara remaja putra dan putri.
Namun, Kande-Kandea tidak hanya sekadar tradisi makan bersama. Dalam konteks masyarakat adat Baruta Analalaki, acara ini dijalankan secara sederhana, bersifat ritual, dan terlaksana secara tertutup di rumah adat mereka.
Prosesi ini melibatkan pemberian makanan kepada arwah leluhur dan makan bersama, mencerminkan nilai-nilai mistis dan sosial yang mendalam, serupa dengan slametan dalam masyarakat Jawa.
Meskipun terpengaruh oleh dua kekuatan berbeda, yaitu negara dan adat, Kande-Kandea tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Buton. (IS)