Ketegangan Pecah di Tengah Upaya Pemerintah Menjembatani Polemik Motif Rapa Dara
Bombana, sultranet.com – Forum Dialog Budaya yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bombana untuk menjembatani polemik motif Rapa Dara (kepala kuda) mendadak berubah menjadi arena demonstrasi, Senin (6/10/2025). Aliansi Masyarakat Moronene menyerbu aula Perpustakaan Daerah dan memaksa kegiatan dihentikan, hingga situasi memanas.
Dialog yang dipimpin Wakil Bupati Bombana, Ahmad Yani, semula ditujukan untuk menyerap saran dan pandangan berbagai pihak terkait seni motif dan kriya busana daerah. Forum ini menghadirkan tokoh budaya dan adat Moronene sebagai upaya mencari titik temu atas kontroversi penggunaan motif Rapa Dara di sejumlah fasilitas umum. Namun, rencana dialog itu buyar saat puluhan demonstran memasuki aula dan menekan panitia menghentikan kegiatan.
Wakil Bupati sempat menemui perwakilan massa di halaman gedung dan menerima aspirasi awal. Namun massa bersikeras ingin bertemu langsung dengan Bupati Bombana, H. Burhanuddin. Tidak lama kemudian, Bupati tiba di lokasi dan menemui demonstran. Aula dialog pun berubah menjadi arena pertemuan terbuka antara massa aksi dan pemerintah daerah.
Aliansi Moronene Tolak Motif Rapa Dara
Di hadapan Bupati, Hamdan salah satu Koordinator Aksi membacakan enam poin tuntutan. Mereka menolak penetapan Rapa Dara sebagai simbol khas Bombana karena dianggap bukan warisan budaya Moronene dan tidak melalui kajian akademik yang mendalam. Massa juga mengecam penggantian ukiran tradisional seperti Burisininta dan Bosu-bosu pada bangunan resmi dengan motif Rapa Dara.
Mereka menuntut pelibatan tokoh adat, akademisi, dan budayawan dalam setiap kebijakan budaya serta mendesak percepatan pengesahan Raperda Pelestarian Seni dan Budaya Moronene. Jika tuntutan tidak dipenuhi, mereka mengancam akan meminta Bupati mundur.
“Motif Rapa Dara bukan warisan budaya Moronene dan tidak melalui proses kajian budaya. Kami menolak penetapannya sebagai simbol Bombana,” tegas Hamdan.
Sebagai bentuk respons, Bupati menandatangani tuntutan tersebut sebagai komitmen untuk menindaklanjutinya.
Asal Usul Motif Rapa Dara Dijelaskan
Janariah, mantan Tenaga Ahli Bidang Ekonomi dan Pariwisata Bombana, menjelaskan sejarah munculnya motif Rapa Dara. Menurutnya, ide ini lahir tahun 2023 saat Bombana belum memiliki motif etnik yang dikurasi nasional. Saat itu, Pj. Bupati dan rombongan berkunjung ke Pulau Kabaena dan menemukan tradisi penggunaan kuda dalam prosesi adat pernikahan.
“Dari situ muncul ide menjadikan kuda sebagai motif karena unik dan lolos kurasi nasional di Jakarta,” jelas Janariah. Ia menegaskan motif tersebut merupakan karya estetika yang telah diakui HAKI, bukan simbol budaya daerah. “Ini murni karya kriya, bukan pengganti identitas Bombana,” katanya.
Bupati: Tak Pernah Wajibkan Motif Tertentu
Bupati Bombana, H. Burhanuddin, dengan tegas membantah tudingan bahwa pemerintah mewajibkan penggunaan motif Rapa Dara. Ia menjelaskan bahwa motif tersebut hanyalah satu dari sekian motif yang dikembangkan untuk promosi budaya daerah.
“Lillahi taala, tidak pernah satu kalipun saya mewajibkan penggunaan motif itu,” tegas Burhanuddin. Ia menambahkan bahwa niat pemerintah adalah membangun dan melestarikan budaya, bukan menghapus identitas lokal. “Saya datang sebagai saudara untuk membangun daerah. Tidak ada niat sedikit pun mengganggu budaya,” tegasnya.
Majelis Adat Sesalkan Aksi, Copot Ketua Tamalaki
Majelis Tinggi Adat Kerajaan Moronene Keuwia Rumbia menyayangkan terjadinya aksi demonstrasi yang mengganggu forum dialog. Terlebih lagi aksi tersebut dipimpin Ramsy Salo sebagai Jendral Lapangan Aksi dan saat aksi membawa identitas sebagai Ketua Tamalaki Moronene, Mereka menegaskan bahwa kerajaan tidak pernah menginstruksikan aksi tersebut dan sejak awal mendorong penyelesaian melalui dialog.

Ketua Majelis Tinggi Adat, PYM. Apua Mokole Alfian Pimpie, menjelaskan bahwa aksi tersebut dilakukan tanpa seizin kerajaan. “Kami sudah mengimbau untuk tidak aksi. Kalau mau menyampaikan aspirasi boleh, tapi harus dengan etika berbudaya,” ujarnya. Ia menilai Sikap Ramsy Salo saat aksi membawa unsur pribadi dalam salah satu insiden dan mengungkapkan sesuatu yang tidak relevan dengan substansi budaya.
Sebagai sikap tegas, majelis adat mencopot Ramsy Salo dari jabatan Ketua Tamalaki karena dianggap melanggar titah raja dan bertindak di luar struktur adat. “Kami sudah rapat pleno malam ini dan memutuskan mencopot Ramsy beserta sekretarisnya,” tegas Mokole Alfian.
Komentar Para Tokoh Adat dan Lembaga
Mokole Gufran Kapita Bin Samad, Sekretaris Lembaga Adat Kerajaan Moronene (LAKMOR), menilai aksi massa telah menggeser esensi forum. “Seharusnya ini forum dialog, bukan demonstrasi. Pemerintah sudah membuka ruang, tuntutan sudah diterima,” katanya. Ia juga menyoroti adanya tuntutan politik seperti desakan turunkan bupati yang tidak relevan dengan pokok persoalan budaya.

Ketua LAKMOR, M. Kasim D. SE, menegaskan pentingnya menjaga kondusifitas wilayah. “Prinsipnya, keinginan masyarakat sudah difasilitasi pemerintah. Jadi, ini mestinya dianggap selesai,” ujarnya.
Mokele Mansur Lababa, Ketua PD Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bombana, menjelaskan bahwa Tamalaki adalah bagian dari struktur adat yang harus tunduk pada hierarki kerajaan. “Tamalaki tidak boleh bertindak sendiri tanpa perintah kerajaan. Harus melalui majelis tinggi adat,” tegasnya. Ia menilai tindakan Ramsy melanggar tatanan adat.
Johan Salim, Dewan Pembina Lembaga Adat, juga menyayangkan aksi tersebut. “Ini forum dialog, tapi tiba-tiba berubah jadi demonstrasi. Pemerintah sudah bersedia hadir dan mendengar. Situasi seperti ini tidak sejalan dengan etika adat,” katanya.

Suara Tokoh Moronene: Jaga Warisan dengan Musyawarah
Roysman, salah satu tokoh Moronene, mengingatkan pentingnya menjaga warisan budaya dan menyelesaikan perbedaan melalui musyawarah. “Budaya adalah warisan leluhur. Perbedaan pandangan harus diselesaikan dengan dialog yang baik, kecuali dialog sudah tidak menemukan solusi maka opsi lain bisa ditempuh termasuk demonstrasi,” ujarnya. Ia berharap semua pihak mendinginkan suasana dan kembali bekerja untuk kemajuan Bombana.
Ruang Kajian Terbuka untuk Motif Rapa Dara
Para tokoh adat sepakat bahwa motif Rapa Dara dapat diposisikan sebagai tambahan khazanah budaya Bombana, bukan pengganti motif asli. Kajian historis dan filosofis akan menjadi langkah berikutnya untuk memastikan kelayakan motif tersebut sebagai identitas daerah.
“Motif ini bisa saja menjadi tambahan kekayaan budaya, asal tidak menghapus motif lama,” ujar Mokole Gufran. Majelis adat juga menyerukan agar masyarakat tidak terprovokasi isu SARA dan tetap menjaga persatuan.







