Kolaka Utara, sultranet.com – Kementerian Agama Kabupaten Kolaka Utara, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah menetapkan besaran nilai zakat fitrah tahun 2025 melalui rapat koordinasi intensif. Kebijakan ini mengacu pada standar harga beras sebagai acuan, dengan tujuan memudahkan umat Islam dalam memenuhi kewajiban zakat sesuai dengan makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Penetapan ini juga mempertimbangkan kondisi ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta diharapkan dapat menyemangati kepedulian sosial menjelang Idulfitri. Rabu (05/03/2025).
Dalam rapat tersebut, dua kategori standar harga beras ditetapkan sebagai berikut. Kategori pertama menggunakan harga Rp14.000 per liter, sehingga dengan takaran 3,5 liter, jumlahnya mencapai Rp49.000. Ditambahkan dengan infak sebesar Rp5.000, total zakat fitrah per jiwa mencapai Rp54.000. Sementara itu, kategori kedua menggunakan harga Rp13.000 per liter, menghasilkan perhitungan 3,5 liter x Rp13.000 sebesar Rp45.500, ditambah infak Rp5.000 sehingga total menjadi Rp50.500. Sebagai alternatif, tersedia pula opsi pembayaran zakat fitrah dengan bahan pangan lain, yakni sagu dan jagung. Untuk sagu, dengan harga Rp7.000 per liter, perhitungan 3,5 liter menghasilkan Rp24.500 ditambah infak Rp5.000, sehingga total yang harus dibayarkan adalah Rp29.500. Sedangkan opsi jagung dihitung serupa, yakni 3,5 liter x Rp7.000 menghasilkan Rp24.500, ditambah infak Rp500 menghasilkan total Rp25.000.
Keputusan ini diambil menyusul hasil survei yang dilakukan oleh KUA dan pihak terkait, yang menunjukkan bahwa sekitar 95% masyarakat Kolaka Utara memilih membayar zakat fitrah dalam bentuk beras. Hal ini disebabkan karena beras merupakan makanan pokok yang akrab dan mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembayaran zakat fitrah pun dapat dilakukan sejak awal Ramadan, meskipun umumnya masyarakat melaksanakannya pada akhir bulan Ramadan, tepat sebelum pelaksanaan Salat Idulfitri. Dengan demikian, umat Islam diimbau untuk menyelesaikan kewajiban ini tepat waktu guna menghindari penilaian fiqih bahwa pembayaran setelah salat Idulfitri tergolong makruh bahkan haram.
Pembahasan rapat melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, dengan mempertimbangkan fluktuasi harga pangan dan dinamika ekonomi lokal. Para peserta rapat sepakat bahwa penetapan dua kategori harga beras memberikan fleksibilitas bagi masyarakat sesuai kemampuan ekonomi masing-masing. Sementara opsi alternatif menggunakan sagu dan jagung dihadirkan sebagai inovasi untuk daerah yang mungkin memiliki pasokan pangan berbeda, meski pada praktiknya, opsi tersebut masih jauh dari minat mayoritas warga. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menyelesaikan kewajiban zakat, tetapi juga meningkatkan solidaritas sosial dan mengokohkan semangat keislaman di tengah dinamika ekonomi.
Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kolaka Utara, Drs. Alimuddin, “Dari hasil survei yang dilakukan oleh KUA dan pihak terkait, sekitar 95% masyarakat Kolaka Utara membayarkan zakat fitrah dalam bentuk beras. Hal ini sesuai dengan prinsip zakat fitrah yang harus disesuaikan dengan makanan pokok sehari-hari.”
“Dengan menetapkan besaran zakat fitrah yang proporsional, kami mengimbau umat Islam di Kolaka Utara untuk segera menunaikan kewajiban tersebut sebelum Idulfitri. Jika zakat dikeluarkan setelah pelaksanaan salat Id, maka hukumnya makruh bahkan haram menurut perspektif fiqih,” tambahnya.
Langkah penetapan besaran zakat fitrah tahun 2025 ini mendapat sambutan positif dari berbagai elemen masyarakat. Program ini menjadi bagian dari upaya strategis pemerintah daerah dalam meningkatkan sinergi antarinstansi dan mengoptimalkan pemanfaatan zakat sebagai instrumen pemberdayaan sosial. Seiring dengan datangnya Ramadan, inisiatif tersebut diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas ibadah dan kepedulian sosial di antara umat Islam. Masyarakat didorong untuk segera menyelesaikan pembayaran zakat fitrah agar keberkahan dan manfaat sosialnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan, sekaligus menghindarkan mereka dari potensi persoalan fiqih. Kebijakan ini juga diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain dalam menyelaraskan kewajiban keagamaan dengan kondisi ekonomi dan budaya lokal, sekaligus membangun rasa kebersamaan dalam menyambut hari kemenangan.