Bombana, Sultranet.com – Pembekuan gelar adat Alfian Pimpie sebagai Pauno Rumbia ke-VII atau Raja Moronene ke-VII oleh kelompok yang mengatasnamakan Rumpun Keluarga Besar Kerajaan Moronene Keuwia memicu kontroversi dan dinilai tidak sah menurut hukum adat yang berlaku. Sejumlah tokoh adat dan masyarakat Moronene menilai keputusan tersebut cacat prosedur dan berpotensi menciptakan perpecahan di tengah masyarakat adat. Minggu, 1 Juni 2025.
Langkah pencopotan yang dilakukan tanpa musyawarah resmi lembaga adat dinilai sebagai bentuk penyimpangan dari tatanan dan marwah adat Moronene. Sejumlah tokoh menilai bahwa keputusan tersebut dilakukan secara sepihak oleh kelompok yang bahkan tidak lagi diakui keberadaannya oleh struktur resmi kerajaan.
Penasihat Kerajaan Moronene Keuwia, Agustinus Powatu, menegaskan bahwa pencopotan seorang raja hanya bisa dilakukan jika memenuhi syarat adat tertentu seperti pelanggaran berat, tindakan kriminal, kasus asusila, mengundurkan diri atau wafat. Ia menyayangkan tindakan sepihak tersebut yang dianggap tidak menghormati prosedur adat yang ketat.
“Gelar raja itu bukan seperti jabatan biasa yang bisa dicopot begitu saja. Ada aturan adat yang jelas dan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan adat Moronene. Proses yang terjadi ini tidak mencerminkan penghormatan terhadap hukum adat kami,” kata Agustinus kepada wartawan.
Ia mengingatkan, jika tindakan sepihak semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk yang mengancam kelestarian tatanan adat Moronene. Agustinus mengibaratkan, nantinya siapapun bisa mengatasnamakan kelompok adat, memasang spanduk, lalu mencopot atau mengangkat raja baru tanpa dasar yang sah.
“Kalau ini diteruskan, besok-besok siapa saja bisa mendirikan kelompok sendiri, lalu membuat kegiatan adat sendiri dan mencopot raja seenaknya. Ini berbahaya bagi kelangsungan budaya kita,” ujarnya.
Agustinus menegaskan bahwa hingga saat ini gelar Pauno Rumbia ke-VII secara sah masih melekat kepada Alfian Pimpie. Menurutnya, pembekuan tersebut tidak memiliki legitimasi hukum adat karena tidak melibatkan lembaga adat resmi maupun majelis tinggi adat Moronene.
Sikap serupa disampaikan Abdul Haris Bere, Penasihat Rumpun Keluarga Moronene (RKM) Konawe Selatan. Ia menilai, pencopotan Alfian Pimpie tidak memiliki kekuatan adat karena tidak melalui musyawarah besar adat yang mewakili seluruh unsur masyarakat adat Moronene.
“Ini bukan hanya soal prosedur, tapi soal menghormati tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Keputusan seperti ini tidak boleh dibuat oleh segelintir orang tanpa restu adat,” kata Haris.
Sementara itu, Tokoh Masyarakat Moronene, Ramsi Salo, secara tegas menolak pengakuan terhadap keputusan pembekuan tersebut. Ia menilai, tindakan ini justru bisa menjadi pemicu konflik horizontal di kalangan masyarakat adat Moronene, terutama jika disusupi kepentingan politik atau perebutan pengaruh.
“Pembekuan ini tidak berdasarkan musyawarah adat yang sah. Jangan sampai ini jadi alat politik. Kita ingin menjaga keharmonisan, bukan menciptakan perpecahan,” ujar Ramsi.
Ia juga menegaskan, dugaan pelanggaran hukum berupa penipuan dan penjualan tanah adat yang dialamatkan kepada Alfian Pimpie belum terbukti secara hukum. Oleh karena itu, tudingan tersebut dinilai sebagai alasan yang mengada-ada dan tidak layak dijadikan dasar pencopotan raja.
“Hingga kini tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan beliau bersalah. Beliau tidak pernah dipenjara atau divonis atas dugaan itu. Maka, tudingan itu hanya wacana yang tidak bisa digunakan sebagai dasar pembekuan,” tegas Ramsi.
Para tokoh adat sepakat bahwa polemik ini harus diselesaikan melalui musyawarah adat yang sah, dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Moronene, termasuk pemangku adat dan perwakilan marga. Mereka berharap masyarakat tidak terprovokasi oleh informasi yang belum jelas kebenarannya.
“Untuk menjaga keharmonisan dan martabat adat Moronene, mari kita kembalikan segala keputusan kepada mekanisme adat yang sah dan transparan,” pungkas Ramsi.
Polemik ini menjadi pelajaran penting akan perlunya penghormatan terhadap hukum adat, serta kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang menyangkut marwah masyarakat adat. Banyak pihak berharap agar kisruh ini tidak berlarut-larut dan segera diselesaikan dengan cara-cara yang mengedepankan nilai kebudayaan serta persatuan masyarakat Moronene.