Kolaka, sultranet.com – Aktivitas jalan hauling ore nikel yang diduga digunakan PT. Tambang Rejeki Kolaka (TRK) di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, kembali menuai sorotan. Jalan yang disebut-sebut sudah digunakan selama belasan tahun itu diduga kuat melintasi wilayah izin usaha pertambangan (IUP) milik PT. Antam Tbk.
Hasil investigasi lapangan pada Jumat (4/7/2025) di Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, memperlihatkan bahwa jalan tersebut masih aktif digunakan untuk hauling ore nikel, meski diduga berada di dalam area konsesi milik PT. Antam Tbk.
“Jalan yang dipakai PT. TRK itu jelas masuk dalam IUP PT. Antam. Mereka gunakan untuk hauling ore nikel. Ini pelanggaran yang nyata,” kata salah satu sumber terpercaya di lokasi kepada media ini.
Lebih lanjut, sumber itu juga mengungkap bahwa kegiatan hauling tersebut diduga dikendalikan oleh seorang pengusaha berinisial JJ. Dalam operasinya, JJ menggunakan nama PT. TRK sebagai badan usaha untuk melintas di wilayah Antam.
“Itu kegiatannya JJ. Dia pakai nama PT. TRK untuk jalankan hauling ore di dalam wilayah IUP Antam,” bebernya.
Menanggapi persoalan ini, Ketua DPD Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Sulawesi Tenggara, Mardin Fahrun, mendesak aparat penegak hukum untuk segera menindaklanjuti keberadaan jalan hauling TRK yang berada dalam kawasan konsesi milik negara tersebut.
“Kami sudah melihat peta wilayah konsesi. Jalan TRK itu benar-benar masuk di area IUP PT. Antam. Ini harus segera diperiksa aparat penegak hukum, termasuk legalitas penggunaannya selama ini,” tegas Mardin. Sabtu (5/7)
Menurut Mardin, pihaknya juga akan melayangkan surat resmi ke manajemen PT. Antam Tbk di Jakarta untuk meminta penjelasan resmi terkait status jalan hauling yang digunakan PT. TRK tersebut.
“Kami akan menyurat ke manajemen pusat PT. Antam. Kalau itu resmi, harus dijelaskan siapa yang mengizinkan. Tapi kalau tidak resmi, ini persoalan besar,” ucapnya.
Mardin juga menduga selama bertahun-tahun penggunaan jalan itu, telah terjadi kompensasi secara ekonomi dalam bentuk hitungan tonase atau ritase.
“Kami curiga, tiap armada yang lewat membawa ore itu ada kompensasi, entah tonase, entah ritase. Lalu siapa yang menerima? Apakah Antam? Atau TRK sendiri?” tanyanya.
Mardin menambahkan, jika jalan tersebut memang tidak pernah diizinkan secara resmi oleh PT. Antam Tbk, maka perlu dipertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan kerja atau pelanggaran aturan pertambangan.
“Kalau suatu waktu terjadi kecelakaan kerja atau pelanggaran aturan tambang di jalan itu, siapa yang bertanggung jawab? Apakah Antam, selaku pemegang IUP? Ini harus jelas demi kepastian hukum,” tegasnya.
Isu ini menambah daftar panjang persoalan tumpang tindih penggunaan lahan tambang di Sulawesi Tenggara, yang kerap menimbulkan konflik kepentingan antara korporasi, masyarakat, dan negara.
Hingga berita ini dirilis, baik Pihak PT. Antam, Tbk maupun PT. TRK yang dikonfirmasi via whattsapp belum memberikan jawaban. (IS)