Oleh : Samidin
Wakatobi, sultranet.com – Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan oleh sebuah rekaman yang beredar luas di media sosial, khususnya di Facebook. Rekaman tersebut memuat percakapan antara seorang oknum polisi dan seorang saksi. Dalam percakapan itu, terdengar jelas bagaimana oknum polisi tersebut mencoba meyakinkan sang saksi bahwa statusnya dapat dinaikkan menjadi tersangka jika tidak memenuhi permintaan sejumlah uang tertentu.
Yang menjadi sorotan utama bukanlah kasus yang sedang ditangani, melainkan tindakan oknum polisi tersebut. Dalam rekaman itu, ia bahkan mencatut tiga lembaga hukum sekaligus: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lancar, seolah-olah praktik semacam itu sudah biasa dilakukan.
Tekanan psikologis tampak digunakan dalam percakapan tersebut, meskipun tidak ada bentakan atau ancaman fisik. Metode ini sering disebut sebagai coercive persuasion, yaitu cara untuk membuat seseorang merasa takut, lalu menawarkan solusi agar permasalahan yang dihadapi dapat “diatasi.” Fenomena ini mengundang pertanyaan besar tentang integritas lembaga hukum di Wakatobi, atau bahkan di Indonesia secara umum.
Tindakan ini tidak hanya merusak citra individu yang terlibat, tetapi juga menodai kredibilitas institusi hukum secara keseluruhan. Dalam konteks masyarakat yang sudah sering dihadapkan pada isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang, rekaman ini memperdalam rasa ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum. Apakah ini hanyalah puncak dari fenomena Gunung Es? Jika memang demikian, berarti ada kemungkinan masih banyak kasus serupa yang belum terungkap.
Kasus ini juga mengingatkan kita pada berbagai permasalahan hukum lain di Wakatobi yang hingga kini masih menjadi misteri. Sebut saja kasus Bawang Merah, penyalahgunaan BBM bersubsidi, hingga tambang ilegal Galian C. Semua ini menunjukkan bahwa ada pola pengelolaan hukum yang perlu dibenahi secara serius.
Apabila praktik semacam ini terus dibiarkan, maka dampaknya akan jauh lebih besar daripada sekadar citra buruk institusi hukum. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dapat memicu ketidakpuasan sosial yang lebih luas, bahkan berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan hukum di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, lembaga hukum tidak hanya gagal menjalankan tugasnya sebagai penegak keadilan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang memperparah ketidakadilan.
Harapan kita semua adalah agar ketiga lembaga hukum yang disebut dalam rekaman tersebut dapat menjaga dan mengembalikan kepercayaan publik. Tugas besar menanti mereka, untuk membuktikan bahwa hukum di negeri ini masih bisa ditegakkan dengan adil, transparan, dan tanpa intervensi kepentingan pribadi. Tidak ada cara lain untuk memulihkan kepercayaan selain dengan tindakan nyata dan konsisten dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Kita, sebagai masyarakat, juga memiliki peran untuk terus mengawasi, bersuara, dan mendorong transparansi dalam setiap proses hukum yang terjadi. Keberanian untuk melaporkan penyimpangan seperti yang ada dalam rekaman ini adalah langkah awal yang harus kita dukung dan apresiasi. Karena hanya dengan upaya kolektif, harapan terhadap keadilan yang sesungguhnya dapat terwujud.